Ku pandangi hujan
deras yang tiba-tiba jatuh membasahi tanah tandus sore ini, hujan
pertama setelah kurang lebih dua bulan Kota Nenas ini tidak di sentuh
sang hujan. Dulu aku pernah dan sampai terpikir, apakah Dia sudah marah
kepada umatNya yang sering tidak bersyukur ini? Aah.. pikiran
asal yang keluar dari otak ku itu segera aku buang jauh-jauh, karena
aku yakin, Dia tidak akan memberikan cobaan melebihi kemampuan umatNya,
bukankah Dia mempunyai sifat Ar-rohman dan Ar-rohim?
Sesekali
angin bertiup sepoi-sepoi membawa titik-titik halus sang hujan
bersamanya. Tubuh ku bergetar dingin, ada sedikit sesal dihati kenapa
hari ini aku dengan sengaja meninggalkan mantel hujan dan jaket yang
biasanya selalu aku bawa dan aku pakai. Ya, aku sangat menyesal sudah
berpikir sesuatu mendahului Dia, sungguh aku sangat menyesal telah
berpikir kalau Dia tidak akan menurunkan hujan, Aku telah bersuudzon
kepada Dia, Ooh Robb!! Ampuni aku! Teriakku hanya terdengar di relung
hati.
Aku
menggeser posisi duduk ku di bangku panjang yang terbuat dari kayu ini,
untuk mencoba menghindari titik-titik hujan yang tertiup ke arah ku.
Aku sangat bersyukur bisa mendapatkan tempat berteduh ini sebelum
seluruh tubuh ku terguyur sang hujan saat dalam perjalanan pulang dari
acara ku sendiri yaitu keliling-keliling santai. Sebuah warung kayu
sederhana yang sedang tutup telah menyelamatkan ku dari basah kuyup.
“Permisi
nak, boleh bapak ikut berteduh di sini?”, sebuah suara sayu
menghentakkan ku dari lamunan. “Silakan pak,, silakan,, aku juga
menumpang berteduh di sini,,” ujar ku sambil sedikit bergeser ke pinggir
bangku panjang. Ku pandangi sosok bapak yang sibuk membenahi barang
bawaannya di hadapan ku sekarang. Ia membawa sebuah bakul berukuran
lumayan besar yang terbuat dari anyaman bambu tertutup kain usang tapi
bersih berwarna kuning.
“Pulang berdagang pak?”, tebak ku untuk mencairkan suasana yang membisu. “Baru mau berangkat dari rumah nak, eeh,,
tiba-tiba hujan deras!”, jawab sang bapak dengan ramah. “Dagang apa
pak?”, Tanya ku sambil memandang bakul bambu yang tutup nya sekarang
sudah dilapisi plastik bening. “tape singkong nak!”, jawab sang bapak
tetap dengan muka ramah nya. “Buatan sendiri?”,Tanya ku berlanjut. Sang
bapak tersenyum dan menganggukkan kepala.
Ada banyak pertanyaan yang langsung berputar di kepala ku, tapi ku urung kan pertanyaan itu ketika ku lihat ada air
mata yang mengalir di wajah ramah itu. Ya, betul,, bapak pedagang tape
singkong itu menangis, aku tertegun memandangnya sampai akhirnya sang
bapak sadar diperhatikan, ia pun mencoba menyeka air mata nya sambil
mengalihkan tubuhnya membelakangi ku. Aku terdiam, ingin rasanya aku
bertanya kenapa kiranya sang bapak menangis, tapi aku tak mampu
melakukan apa pun melihat fenomena ini, bersama derasnya hujan, aku
hanya bisa melihat tubuh sang bapak yang sesekali bergetar karena
menangis sesegukan.
***
Hujan deras sekarang telah berganti menjadi gerimis, dan aku
sama sekali tidak melihat cela waktu untuk mengajak sang bapak bercerita sebab
tangis nya, akhirnya aku memutus kan
untuk langsung pulang ke rumah. Aku pun berdiri dari bangku panjang, menoleh ke
sang bapak yang masih saja menangis, “Pak, aku jalan duluan ya!”, ujar ku pelan
tapi berharap sang bapak mendengar suara ku. Tak ada geming yang kulihat dari
sang bapak, Akhirnya karena tak terlalu mau ambil pusing, maka segera aku
langkahkan kaki ku keluar dari warung kosong tersebut.
“Nak tunggu!!”, ku dengar sang bapak berteriak memanggil ku
setelah aku mendekat ke kuda besi ku yang basah. Aku segera menghentikan
langkah dan membalikkan pandangan ke arah suara yang memanggil. Bergegas sekali
sang bapak menuju ke arah ku sambil menggenggam secarik kertas berwarna putih.
“Nak, sebetulnya bapak tidak mau memberikan surat ini kepada mu,
tetapi bapak harus menjaga amanah seseorang!”, ujar sang bapak sambil
menyodorkan kertas berwarna putih yang ternyata sebuah amplop. “Amanah
siapa
pak?”, Tanya ku sambil mengernyitkan dahi tak mengerti. Sang Bapak
menggeleng kan kepala, “Sebelum Bapak kehujanan dan sampai ke sini,
ada seseorang yang meminta bapak untuk memberikan surat ini kepada
seorang pemuda memakai baju
warna biru yang akan bapak temui dikala berteduh kehujanan.
“Baiklah Pak, hujan sudah reda, aku permisi pulang dulu
ya!”, ujar ku kepada sang bapak yang
mimik wajahnya terlihat datar karena terdiam dan membisu. Sekali lagi ku
lihat sang bapak tak begeming menanggapi ku, “Ya sudah lah!”, ujar ku dalam
hati sambil kembali membalikkan badan menuju si kuda besi yang telah menanti
sedari tadi.
“Mayonda Pratama Putra!”. Aku terperanjat dan segera menghentikan langkah kaki ku kala mendengar
nama lengkap ku disebut dengan jelas oleh sang Bapak. “Anak namanya Mayonda
Pratama Putra kan?”,
Tanya sang bapak yang tetap menyodorkan amplop putih itu saat aku berdiri
tertegun memandangnya. “Dari mana bapak tahu nama ku?”, Tanya ku dengan kernyit
dahi dua kali lipat dari sebelumnya. “Maaf nak, sebetulnya Bapak tidak tahu
nama anak, bapak hanya membaca tulisan yang ada di amplop ini”, jawabnya
sembari kembali menyodorkan amplop putih di tangan kanan nya.
Aku pun segera menerima amplop putih itu, dan bergegas membaca tulisan di atas amplop yang ternyata benar surat tersebut ditujukan kepada ku. Karena rasa penasaran, tangan ku pun bermaksud merobek amplop dan ingin membaca isi nya. “Tunggu nak!! Jangan buka amplop nya sekarang!”, ujar sang bapak mencegah. “Kenapa pak?”, Tanya ku heran karena aku melihat wajah sang bapak kembali menangis. Dengan sesegukkan, sang Bapak meraih tangan ku, “Bapak menangis karena Bapak harus memberikan surat ini kepada mu, dan Bapak mohon dengan sangat, simpan saja surat ini, tapi jangan dibuka!”, ujar nya, kemudian berlalu kearah bakul bambu nya, meninggalkan aku yang tercengang dengan semua keanehan.
***
Ku kendarai kuda besi ku dengan berbagai Tanya di dalam
hati, sesekali aku melirik ke amplop putih yang menyembul bagian atas nya dari
saku kemeja berwarna biru ku. “hmm,,, hal yang sangat aneh dan diluar akal
sehat, siapa kah yang mengamanahkan surat
ini kepada sang bapak penjual tape singkong? Teman ku kah? Tapi kenapa sang
bapak malah berkata agar aku tidak membuka amplop putih ini? Huaah… mimpi kah
ini?”, aku pun mencoba mengerjam-ngerjapkan mata, berharap kalau semua ini
adalah mimpi dan aku akan terbangun di atas tempat tidur ku. Tetapi ternyata
itu hanya sekedar harapan.
“Ooeeeii!! Mayooo!!!”, aku tersentak mendengar nama ku
dipanggil ketika baru saja aku akan melewati gang kecil menuju rumah ku. Segera
aku menekan rem si kuda besi dengan kaki kanan ku, dan ku lihat si Akbar
berlari-lari kecil menuju kepada ku.
***
“Nak, tadi Pak Dulah mencari mu”, ujar ibu saat melihat aku
memasuki dapur. Aku segera menuju ke rak piring yang tersandar di sudut ruang,
mengambil sebuah gelas, dan langsung menuju meja makan yang juga terletak di
sisi dapur. Sambil menuang air dari teko, ku lihat ibu sedang sibuk melipat
kotak kue, masih banyak tumpukkan kotak kue yang belum dilipat bertumpuk di
atas meja. Alhamdulillah usaha kecil-kecilan ibu untuk mengisi waktu senggangnya
sekarang lumayan maju pesat, awalnya hanya tetangga-tetangga sekitar rumah saja
yang memesan kue buatan ibu, tetapi lamban laun kue buatan ibu mulai terkenal,
tak jarang instansi pemerintahan yang akan menyelenggarakan acara juga memesan
kue dari ibu.
“Iya, bu,, tadi si Akbar juga memberi tahu ku, kira-kira ada
apa ya bu? Tumben-tumben Pak Dulah mencari ku?”, sekarang giliran ibu yang aku
Tanya akibat rasa penasaran. “Ibu juga tidak tahu nak, seperti nya ada hal yang
penting. Sekarang baiknya kamu segera mandi dan sholat Magrib di masjid,
sebentar lagi azan loh!”, ujar ibu. “Baiklah ibu ku sayang!!! Tapi kok aku tidak di kasih kue
ya?”, ujar ku sambil melirik nakal ke arah kue kukus yang berwarna warni
tersusun rapi di nampan bulat. “eeittss… nanti dulu!! Itu sudah ada yang
pesan!! Nanti kalau ada sisa baru boleh!”, ujar ibu sambil tersenyum. “Masa’
anak semata wayang nya ini cuma dikasih kue sisa?”, ujar ku dengan sedikit
menekukkan wajah. “Itu sudah nasib mu jadi anak tukang kue!”, jawab ibu asal
sambil tertawa. Aku pun tertawa sambil
menuju kamar mandi,, aah,, ibu ku,, memang tidak pernah berubah, selalu menjaga
amanah dari langganannya.
***
Sholat magrib berjamaah pun telah selesai, sebagian jamaah
ada yang pulang dan sebagian lagi mengambil tempat masing-masing untuk
memunajah kepada Sang Khalik. Pandangan ku menyapu bersih shaf demi shaf di depan
yang sebagian sudah kosong ditinggalkan jamaah. Ya, aku mencari sosok yang
mencari ku, sosok yang akan menyampaikan sebuah kabar penting yang tak lain adalah sepuh sekaligus
Imam di masjid ini Pak Abdullah yang
paling sering di panggil Pak Dulah.
Sesuai dugaan ku, sholat Magrib berjamaah ini memang di
imami oleh Pak Dulah, dan biasanya Pak Dulah juga akan sekaligus menjadi imam
sholat Isya berjamaah. Aku hanya bisa menatap punggung Pak Dulah yang sudah
mundur dari tempat imam ke shaf pertama agak ke kanan sisi masjid. Khusuk ku
lihat beliau berdzikir, aah,,, membuat ku jadi malu saja, kenapa juga aku
menjadi celingak-celinguk melihat orang, baiknya aku juga ikut berdzikir toh,
janji dengan Pak Dulah juga ba’da Isya ujar ku dalam hati sambil tersenyum
simpul dan bergeser duduk ke sisi kanan
paling ujung.
“Maaf nak Mayo, kita bisa bicara sebentar?”, ujar Pak Dulah
kepada ku yang merupakan jamaah terakhir yang menyalaminya. “Tentu pak, tadi
Ibu dan Akbar bilang ada hal penting yang ingin bapak bicarakan dengan ku,
kira-kira apakah itu pak?”, ujar ku langsung dan tak ingin membuang-buang waktu
menyampaikan rasa penasaran yang sudah aku pendam dari sore hari. Pak Dulah pun
mengambil posisi duduk bersila, aku pun mengikuti dan duduk bersila di depannya.
Keadaan hening beberapa saat, Tak ada
satu pun jamaah yang masih ada di masjid selain kami berdua.
“Maaf nak Mayo, bapak sedang mengkhawatirkan mu? Kamu
baik-baik saja?”, Tanya Pak Dulah pelan. “Aku baik-baik saja pak, bapak lihat
sendiri, tak ada yang perlu dikhawatirkan!”, ujar ku sambil meringis tak
mengerti maksud pembicaraan laki-laki tua nan arif di depan ku. “Syukurlah!”,
jawabnya singkat tapi cukup membuat ku
berpikir panjang. Keadaan kembali hening untuk beberapa saat, dalam otak ku pun
berkecamuk berbagai tanya. “Bapak hanya ingin bertanya ini saja?”, sekali ini
aku tak dapat menahan rasa penasaran. “Ya, tapi bapak juga ingin berpesan,
jangan tinggalkan Allah bagaimana pun keadaan mu nanti”, jawab Pak Dulah datar.
“Baik pak, insyaAllah!”, ujar ku lirih sambil mengusahakan sebuah senyum simpul
ke laki-laki tua bergamis putih itu.
***
Sepanjang jalan pulang aku merasa semakin tak percaya dengan
kejadian-kejadian yang aku alami sehari ini. Ya kejadian-kejadian aneh
dan ditutup rasa kecewa karena hal penting yang akan disampaikan Pak Dulah
hanyalah menanyakan kabar ku saja. Hmm.. aku jadi ingat amplop putih betuliskan
nama ku yang diberikan Bapak tukang Tape singkong. “Aku harus lihat apa isi
nya!”, ujarku ku dalam hati sambil sambil mempercepat langkah kaki.
***
Sejenak aku tertegun memandang tulisan di kertas putih yang tergengam di
tangan ku, mencoba memejamkan mata dan mengingat-ingat hari apakah ini
gerangan? Ulang tahun ku? aku rasa tidak karena ulang tahun ku sudah
lewat bulan Desember tadi. April Mop? aku rasa juga tidak, karena
sekarang baru bulan Maret, terus.. siapa kah yang membuat lelucon yang
sungguh aneh ini?
"Aaah,!! untuk apa juga aku pikirkan", ujar ku dalam hati sambil
meletakkan kembali surat tersebut ke dalam amplop putih dan bergegas
menuju ruang makan karena sepertinya semua cacing di dalam perut ku
berorasi menuntut hak nya.
"Kenapa makan mu tidak semangat begitu nak? Ada yang salah dengan sayur
lodeh nya?", tanya ibu membuyarkan lamunan ku. "Oh.. maaf bu,,, sayur
lodehnya enak sekali!", ujar ku merasa berdosa membuat ibu khawatir.
"Kalau begitu, lanjutkan makannya ya, ibu mau mencatat dulu rincian
pengeluaran dan pemasukkan penjualan kue hari ini", ujar ibu sambil
mengelus lembut kepala ku.
Rinai hujan kembali mengalunkan dendang yang indah di atap rumah ku
malam ini. Ku rebahkan tubuh ku ditempat tidur setelah mematikan lampu
dan menggantinya dengan cahaya yang berasal dari lampu tidur 5watt.
Pandanganku mengitari sekeliling, seakan-akan mencari tau apa dan kenapa
surat aneh tersebut tiba-tiba menghampiri ku hari ini. Mimpi kah ini?
tapi kan aku belum tidur? Huaaah....!!! mengapa sulit sekali memejamkan
mata malam ini.
Setelah bosan berusaha memejamkan mata, akhirnya aku kembali menghampiri
surat aneh tersebut, kembali membaca isi surat yang menurut sangat
konyol, kembali mengingat sang bapak penjual tape singkong yang memberi
kan nya, tapi hasilnya sama,, aku tetap tidak mengerti dan semakin
merasa konyol gara-gara surat tersebut. Kuremuk surat dan amplop putih
tersebut dalam genggamanku dengan perasaan geram dan tidak percaya
kemudian ku melemparkannya tepat masuk ke dalam keranjang sampah yang
ada di sisi meja belajar. Forget it!!! jangan sia-sia kan waktu mu
dengan hal tak berguna, ujar ku kembali menuju tempat tidur sambil
mengingat kalau besok pagi ada janji bimbingan pembuatan proposal sosial
dengan Bunda sumarsih.
***
"gubraaak!!!! Gawat,,, ujar ku langsung melompat dari tempat tidur.
Kebiasaan ku yang kembali tidur setelah sholat shubuh sekarang
membuahkan hasil, Yup!! aku kesiangan terbangun,, dan janji dengan Bunda
Sumarsih hanya menyisakan waktu sepuluh menit lagi dari waktu yang di
sepakati. Sehabis berpakaian dan menyisir rambut seadanya, segera aku
menyambar tas ransel di atas meja belajar dan langsung menunggangi kuda
besi ku setelah berpamitan dengan ibu.
"Assalamualaikum,,, waduh,, bunda dan ibu-ibu sekalian,, maaf aku
datangnya terlambat!! tadi kesiangan!!", ujar ku sambil meringis menahan
malu menyadari kalau aku datang terlambat 10 menit dari waktu
perjanjian. "waalaikumsalam, Ga apa-apa nak,, ini perkenalkan ibu Ratna,
ibu Meli, dan Ibu Tika yang bakal menjadi Panitia Pelatihan Menjahit.
Tapi sebelumnya Bunda mau bilang nak,, maklum kami ibu-ibu, jadi
waktunya tidak banyak, biasa tugas memasak sudah menanti. nak Mayo
tolong jelaskan saja cara pengisian proposalnya, nanti barulah kami coba
isi proposalnya diwaktu senggang lainnya,", ujar bunda Sumarsih tegas
dan jelas, dan hal tersebutlah yang membuatku kagum dengan wanita tua
tapi tetap bersemangat ini.
Bersambung....
0 komentar :
Posting Komentar