Minggu, 29 Mei 2016

Hujan Pertama

Ku pandangi hujan deras yang tiba-tiba jatuh membasahi tanah tandus sore ini, hujan pertama setelah kurang lebih dua bulan Kota Nenas ini tidak di sentuh sang hujan. Dulu aku pernah dan sampai terpikir, apakah Dia sudah marah kepada umatNya yang sering tidak bersyukur ini? Aah..  pikiran asal yang keluar dari otak ku itu segera aku buang jauh-jauh, karena aku yakin, Dia tidak akan memberikan cobaan melebihi kemampuan umatNya, bukankah Dia mempunyai sifat Ar-rohman dan Ar-rohim?

Sesekali angin bertiup sepoi-sepoi membawa titik-titik halus sang hujan bersamanya. Tubuh ku bergetar dingin, ada sedikit sesal dihati kenapa hari ini aku dengan sengaja meninggalkan mantel hujan dan jaket yang biasanya selalu aku bawa dan aku pakai. Ya, aku sangat menyesal sudah berpikir sesuatu mendahului Dia, sungguh aku sangat menyesal telah berpikir kalau Dia tidak akan menurunkan hujan, Aku telah bersuudzon kepada Dia, Ooh Robb!! Ampuni aku! Teriakku hanya terdengar di relung hati.

Aku menggeser posisi duduk ku di bangku panjang yang terbuat dari kayu ini, untuk mencoba menghindari titik-titik hujan yang tertiup ke arah ku. Aku sangat bersyukur bisa mendapatkan tempat berteduh ini sebelum seluruh tubuh ku terguyur sang hujan saat dalam perjalanan pulang dari acara  ku sendiri yaitu keliling-keliling santai. Sebuah warung kayu sederhana yang sedang tutup telah menyelamatkan ku dari basah kuyup.

“Permisi nak, boleh bapak ikut berteduh di sini?”, sebuah suara sayu menghentakkan ku dari lamunan. “Silakan pak,, silakan,, aku juga menumpang berteduh di sini,,” ujar ku sambil sedikit bergeser ke pinggir bangku panjang. Ku pandangi sosok bapak yang sibuk membenahi barang bawaannya di hadapan ku sekarang. Ia membawa sebuah bakul berukuran lumayan besar yang terbuat dari anyaman bambu tertutup kain usang tapi bersih berwarna kuning.

“Pulang berdagang pak?”, tebak ku untuk mencairkan suasana yang membisu. “Baru mau berangkat dari rumah nak,  eeh,, tiba-tiba hujan deras!”, jawab sang bapak dengan ramah. “Dagang apa pak?”, Tanya ku sambil memandang bakul bambu yang tutup nya sekarang sudah dilapisi plastik bening. “tape singkong nak!”, jawab sang bapak tetap dengan muka ramah nya. “Buatan sendiri?”,Tanya ku berlanjut. Sang bapak tersenyum dan menganggukkan kepala.

Ada banyak pertanyaan yang langsung berputar di kepala ku, tapi ku urung kan pertanyaan itu ketika ku lihat ada  air mata yang mengalir di wajah ramah itu. Ya, betul,, bapak pedagang tape singkong itu menangis, aku tertegun memandangnya sampai akhirnya sang bapak sadar diperhatikan, ia pun mencoba menyeka air mata nya sambil mengalihkan tubuhnya membelakangi ku. Aku terdiam,  ingin rasanya aku bertanya kenapa kiranya sang bapak menangis, tapi aku tak mampu melakukan apa pun melihat fenomena ini, bersama derasnya hujan, aku hanya bisa melihat tubuh sang bapak yang sesekali bergetar karena menangis sesegukan.

***

Hujan deras sekarang telah berganti menjadi gerimis, dan aku sama sekali tidak melihat cela waktu untuk mengajak sang bapak bercerita sebab tangis nya, akhirnya aku memutus kan untuk langsung pulang ke rumah. Aku pun berdiri dari bangku panjang, menoleh ke sang bapak yang masih saja menangis, “Pak, aku jalan duluan ya!”, ujar ku pelan tapi berharap sang bapak mendengar suara ku. Tak ada geming yang kulihat dari sang bapak, Akhirnya karena tak terlalu mau ambil pusing, maka segera aku langkahkan kaki ku keluar dari warung kosong tersebut.

“Nak tunggu!!”, ku dengar sang bapak berteriak memanggil ku setelah aku mendekat ke kuda besi ku yang basah. Aku segera menghentikan langkah dan membalikkan pandangan ke arah suara yang memanggil. Bergegas sekali sang bapak menuju ke arah ku sambil menggenggam secarik kertas berwarna putih.

“Nak, sebetulnya bapak tidak mau memberikan surat ini kepada mu, tetapi bapak harus menjaga amanah seseorang!”, ujar sang bapak sambil menyodorkan kertas berwarna putih yang ternyata sebuah amplop. “Amanah siapa pak?”, Tanya ku sambil mengernyitkan dahi tak mengerti. Sang Bapak menggeleng kan kepala, “Sebelum Bapak kehujanan dan sampai ke sini, ada seseorang yang meminta bapak untuk memberikan surat ini kepada seorang pemuda memakai baju warna biru yang akan bapak temui dikala berteduh kehujanan.

“Aah,, mungkin bukan untuk ku pak,, kebetulan saja aku sekarang sedang memakai baju biru, bisa jadi itu surat untuk pemuda berbaju biru lainnya, bukan diri ku!”, ujar ku sambil sedikit menahan tawa menghadapi keadaan yang rada aneh ini. Sekarang  ku lihat giliran sang bapak yang mengernyitkan dahi nya. Tawa ku sekarang lepas tak bisa ditahan lagi karena aku yakin dugaan ku kalau surat itu bukan untuk ku seperti nya benar.

“Baiklah Pak, hujan sudah reda, aku permisi pulang dulu ya!”, ujar ku kepada sang bapak yang  mimik wajahnya terlihat datar karena terdiam dan membisu. Sekali lagi ku lihat sang bapak tak begeming menanggapi ku, “Ya sudah lah!”, ujar ku dalam hati sambil kembali membalikkan badan menuju si kuda besi yang telah menanti sedari tadi.

“Mayonda Pratama Putra!”. Aku terperanjat dan segera  menghentikan langkah kaki ku kala mendengar nama lengkap ku disebut dengan jelas oleh sang Bapak. “Anak namanya Mayonda Pratama Putra kan?”, Tanya sang bapak yang tetap menyodorkan amplop putih itu saat aku berdiri tertegun memandangnya. “Dari mana bapak tahu nama ku?”, Tanya ku dengan kernyit dahi dua kali lipat dari sebelumnya. “Maaf nak, sebetulnya Bapak tidak tahu nama anak, bapak hanya membaca tulisan yang ada di amplop ini”, jawabnya sembari kembali menyodorkan amplop putih di tangan kanan nya.



Aku pun segera menerima amplop putih itu, dan bergegas membaca tulisan di atas amplop yang ternyata benar surat tersebut ditujukan kepada ku. Karena rasa penasaran, tangan ku pun bermaksud merobek amplop dan ingin membaca isi nya. “Tunggu nak!! Jangan buka amplop nya sekarang!”, ujar sang bapak mencegah. “Kenapa pak?”, Tanya ku heran karena aku melihat wajah sang bapak kembali menangis. Dengan sesegukkan, sang Bapak meraih tangan ku, “Bapak menangis karena Bapak harus memberikan surat ini kepada mu, dan Bapak mohon dengan sangat, simpan saja surat ini, tapi jangan dibuka!”, ujar nya, kemudian berlalu kearah bakul bambu nya, meninggalkan aku yang tercengang dengan semua keanehan.

***

Ku kendarai kuda besi ku dengan berbagai Tanya di dalam hati, sesekali aku melirik ke amplop putih yang menyembul bagian atas nya dari saku kemeja berwarna biru ku. “hmm,,, hal yang sangat aneh dan diluar akal sehat, siapa kah yang mengamanahkan surat ini kepada sang bapak penjual tape singkong? Teman ku kah? Tapi kenapa sang bapak malah berkata agar aku tidak membuka amplop putih ini? Huaah… mimpi kah ini?”, aku pun mencoba mengerjam-ngerjapkan mata, berharap kalau semua ini adalah mimpi dan aku akan terbangun di atas tempat tidur ku. Tetapi ternyata itu hanya sekedar harapan.

“Ooeeeii!! Mayooo!!!”, aku tersentak mendengar nama ku dipanggil ketika baru saja aku akan melewati gang kecil menuju rumah ku. Segera aku menekan rem si kuda besi dengan kaki kanan ku, dan ku lihat si Akbar berlari-lari kecil menuju kepada ku.

“Ada apa?” , tanpa ba bi bu aku langsung bertanya kepada si Akbar yang masih terengah-engah mengatur nafas nya. Badan bongsor nya memang betul-betul payah untuk di ajak berlari. “Pak Dulah tadi datang ke rumah, kata nya ada hal penting yang ingin ia bicarakan pada mu?”,ujar Akbar sembari mengatur nafas nya. “Tumben-tumben Pak Dulah mencari ku, memang ada hal penting apa?”, Tanya ku sembari mengernyit kan dahi. “Aku tidak tahu, tapi tadi katanya beliau sudah datang ke rumah mu, tapi karena kamu tidak ada, maka ia meminta ku untuk menyampai kan pesan nya. Kata nya sangat penting!, karena itu beliau meminta mu untuk menemuinya di masjid ba’da sholat isya malam ini”, ujar Akbar. “Hmm.. kira-kira hal penting apa ya?”, aku kembali bertanya ke pada Akbar, tetapi sekali lagi aku hanya mendapat jawaban gelengan kepala.  “Baiklah, terima kasih ya!”, ujar ku tersenyum. Akbar pun membalas senyum ku dan melambaikan tangan nya ketika aku kembali melesat menunggangi si kuda besi.

***
“Nak, tadi Pak Dulah mencari mu”, ujar ibu saat melihat aku memasuki dapur. Aku segera menuju ke rak piring yang tersandar di sudut ruang, mengambil sebuah gelas, dan langsung menuju meja makan yang juga terletak di sisi dapur. Sambil menuang air dari teko, ku lihat ibu sedang sibuk melipat kotak kue, masih banyak tumpukkan kotak kue yang belum dilipat bertumpuk di atas meja. Alhamdulillah usaha kecil-kecilan ibu untuk mengisi waktu senggangnya sekarang lumayan maju pesat, awalnya hanya tetangga-tetangga sekitar rumah saja yang memesan kue buatan ibu, tetapi lamban laun kue buatan ibu mulai terkenal, tak jarang instansi pemerintahan yang akan menyelenggarakan acara juga memesan kue dari ibu.

“Iya, bu,, tadi si Akbar juga memberi tahu ku, kira-kira ada apa ya bu? Tumben-tumben Pak Dulah mencari ku?”, sekarang giliran ibu yang aku Tanya akibat rasa penasaran. “Ibu juga tidak tahu nak, seperti nya ada hal yang penting. Sekarang baiknya kamu segera mandi dan sholat Magrib di masjid, sebentar lagi azan loh!”, ujar ibu. “Baiklah ibu ku  sayang!!! Tapi kok aku tidak di kasih kue ya?”, ujar ku sambil melirik nakal ke arah kue kukus yang berwarna warni tersusun rapi di nampan bulat. “eeittss… nanti dulu!! Itu sudah ada yang pesan!! Nanti kalau ada sisa baru boleh!”, ujar ibu sambil tersenyum. “Masa’ anak semata wayang nya ini cuma dikasih kue sisa?”, ujar ku dengan sedikit menekukkan wajah. “Itu sudah nasib mu jadi anak tukang kue!”, jawab ibu asal sambil tertawa. Aku pun tertawa  sambil menuju kamar mandi,, aah,, ibu ku,, memang tidak pernah berubah, selalu menjaga amanah dari langganannya.

Aku merasakan sensasi segar sehabis mandi, seluruh penat terasa bagaikan terbang menghilang. Setelah memakai pakaian koko berwana abu-abu, aku pun terduduk di sisi tempat tidur ku sembari memandang ke amplop putih yg telah aku selamatkan dari saku sebelum si pakaian biru terlempar ke keranjang pakaian kotor. Kembali aku mengamat-amati  amplop putih bertuliskan nama ku itu. Ingin rasa nya aku menyobek amplop misterius itu dan langsung membaca isi nya, tetapi niat ku segera aku urung kan ketika terdengar suara azan dari masjid. Aku pun meletakkan amplop itu di dalam laci meja belajar ku, dan kemudian bergegas memenuhi panggilan Sang Penguasa Alam.

***

Sholat magrib berjamaah pun telah selesai, sebagian jamaah ada yang pulang dan sebagian lagi mengambil tempat masing-masing untuk memunajah kepada Sang Khalik. Pandangan ku menyapu bersih shaf demi shaf di depan yang sebagian sudah kosong ditinggalkan jamaah. Ya, aku mencari sosok yang mencari ku, sosok yang akan menyampaikan sebuah kabar penting  yang tak lain adalah sepuh sekaligus Imam  di masjid ini Pak Abdullah yang paling sering di panggil Pak Dulah.

Sesuai dugaan ku, sholat Magrib berjamaah ini memang di imami oleh Pak Dulah, dan biasanya Pak Dulah juga akan sekaligus menjadi imam sholat Isya berjamaah. Aku hanya bisa menatap punggung Pak Dulah yang sudah mundur dari tempat imam ke shaf pertama agak ke kanan sisi masjid. Khusuk ku lihat beliau berdzikir, aah,,, membuat ku jadi malu saja, kenapa juga aku menjadi celingak-celinguk melihat orang, baiknya aku juga ikut berdzikir toh, janji dengan Pak Dulah juga ba’da Isya ujar ku dalam hati sambil tersenyum simpul dan bergeser duduk ke sisi kanan  paling ujung.

***

“Maaf nak Mayo, kita bisa bicara sebentar?”, ujar Pak Dulah kepada ku yang merupakan jamaah terakhir yang menyalaminya. “Tentu pak, tadi Ibu dan Akbar bilang ada hal penting yang ingin bapak bicarakan dengan ku, kira-kira apakah itu pak?”, ujar ku langsung dan tak ingin membuang-buang waktu menyampaikan rasa penasaran yang sudah aku pendam dari sore hari. Pak Dulah pun mengambil posisi duduk bersila, aku pun mengikuti dan duduk bersila di depannya.  Keadaan hening beberapa saat, Tak ada satu pun jamaah yang masih ada di masjid selain kami berdua.

“Maaf nak Mayo, bapak sedang mengkhawatirkan mu? Kamu baik-baik saja?”, Tanya Pak Dulah pelan. “Aku baik-baik saja pak, bapak lihat sendiri, tak ada yang perlu dikhawatirkan!”, ujar ku sambil meringis tak mengerti maksud pembicaraan laki-laki tua nan arif di depan ku. “Syukurlah!”, jawabnya singkat  tapi cukup membuat ku berpikir panjang. Keadaan kembali hening untuk beberapa saat, dalam otak ku pun berkecamuk berbagai tanya. “Bapak hanya ingin bertanya ini saja?”, sekali ini aku tak dapat menahan rasa penasaran. “Ya, tapi bapak juga ingin berpesan, jangan tinggalkan Allah bagaimana pun keadaan mu nanti”, jawab Pak Dulah datar. “Baik pak, insyaAllah!”, ujar ku lirih sambil mengusahakan sebuah senyum simpul ke laki-laki tua bergamis putih itu.

***

Sepanjang jalan pulang aku merasa semakin tak percaya dengan kejadian-kejadian yang aku alami sehari ini. Ya kejadian-kejadian aneh dan ditutup rasa kecewa karena hal penting yang akan disampaikan Pak Dulah hanyalah menanyakan kabar ku saja. Hmm.. aku jadi ingat amplop putih betuliskan nama ku yang diberikan Bapak tukang Tape singkong. “Aku harus lihat apa isi nya!”, ujarku ku dalam hati sambil sambil mempercepat langkah kaki.

Setelah sampai di rumah aku bergegas menuju kamar ku, sapaan lembut ibu yang menawarkan makan malam hanya aku balas dengan kata “sebentar”. Ku lihat amplop putih itu tetap ada pada tempatnya, segera aku pun merobek sisi amplop dan mengeluarkan kertas yang juga berwarna putih di dalam nya. Semakin tak sabar, aku pun segera membuka lipatan kertas tersebut dan hanya menemukan satu tulisan kalimat yang berbunyi “UMUR MU HANYA TINGGAL SATU BULAN LAGI!”.

***

Sejenak aku tertegun memandang tulisan di kertas putih yang tergengam di tangan ku, mencoba memejamkan mata  dan mengingat-ingat hari apakah ini gerangan? Ulang tahun ku? aku rasa tidak karena ulang tahun ku sudah lewat bulan Desember tadi. April Mop? aku rasa juga tidak, karena sekarang baru bulan Maret, terus.. siapa kah yang membuat lelucon yang sungguh aneh ini?

"Aaah,!! untuk apa juga aku pikirkan", ujar ku dalam hati sambil meletakkan kembali surat tersebut ke dalam amplop putih dan bergegas menuju ruang makan karena sepertinya semua cacing di dalam perut ku berorasi menuntut hak nya.

"Kenapa makan mu tidak semangat begitu nak? Ada yang salah dengan sayur lodeh nya?", tanya ibu membuyarkan lamunan ku. "Oh.. maaf bu,,, sayur lodehnya enak sekali!", ujar ku merasa berdosa membuat ibu khawatir. "Kalau begitu, lanjutkan makannya ya, ibu mau mencatat dulu rincian pengeluaran dan pemasukkan penjualan kue hari ini", ujar ibu sambil mengelus lembut kepala ku.

***

Rinai hujan kembali mengalunkan dendang yang indah di atap rumah ku malam ini. Ku rebahkan tubuh ku ditempat tidur setelah mematikan lampu dan menggantinya dengan cahaya yang berasal dari lampu tidur 5watt. Pandanganku mengitari sekeliling, seakan-akan mencari tau apa dan kenapa surat aneh tersebut tiba-tiba menghampiri ku hari ini. Mimpi kah ini? tapi kan aku belum tidur? Huaaah....!!! mengapa sulit sekali memejamkan mata malam ini.

Setelah bosan berusaha memejamkan mata, akhirnya aku kembali menghampiri surat aneh tersebut, kembali membaca isi surat yang menurut sangat konyol, kembali mengingat sang bapak penjual tape singkong yang memberi kan nya, tapi hasilnya sama,, aku tetap tidak mengerti dan semakin merasa konyol gara-gara surat tersebut. Kuremuk surat dan amplop putih tersebut dalam genggamanku dengan perasaan geram dan tidak percaya  kemudian ku melemparkannya tepat masuk ke dalam keranjang sampah yang ada di sisi meja belajar. Forget it!!! jangan sia-sia kan waktu mu dengan hal tak berguna, ujar ku kembali menuju tempat tidur sambil mengingat kalau besok pagi ada janji bimbingan pembuatan proposal sosial dengan Bunda sumarsih.


***

"gubraaak!!!! Gawat,,, ujar ku langsung melompat dari tempat tidur. Kebiasaan ku yang kembali tidur setelah sholat shubuh sekarang membuahkan hasil, Yup!! aku kesiangan terbangun,, dan janji dengan Bunda Sumarsih hanya menyisakan waktu sepuluh menit lagi dari waktu yang di sepakati. Sehabis berpakaian dan menyisir rambut seadanya, segera aku menyambar tas ransel di atas meja belajar dan langsung menunggangi kuda besi ku setelah berpamitan dengan ibu.

"Assalamualaikum,,, waduh,, bunda dan ibu-ibu sekalian,, maaf aku datangnya terlambat!! tadi kesiangan!!", ujar ku sambil meringis menahan malu menyadari kalau aku datang terlambat 10 menit dari waktu perjanjian. "waalaikumsalam, Ga apa-apa nak,, ini perkenalkan ibu Ratna, ibu Meli, dan Ibu Tika yang bakal menjadi Panitia Pelatihan Menjahit. Tapi sebelumnya Bunda mau bilang nak,, maklum kami ibu-ibu, jadi waktunya tidak banyak, biasa tugas memasak sudah menanti. nak Mayo tolong jelaskan saja cara pengisian proposalnya, nanti barulah kami coba isi proposalnya diwaktu senggang lainnya,", ujar bunda Sumarsih tegas dan jelas, dan hal tersebutlah yang membuatku kagum dengan wanita tua tapi tetap bersemangat ini.

"Baik lah bunda, ok.. kita langsung saja ya", ujar ku sembari membuka tas ranselku guna mengeluarkan format proposal sosial. Disaat aku mencoba mengeluarkan format proposal, aku tersentak hebat ketika sebuah amplop putih bertuliskan nama ku terjatuh tepat di kaki ku.


Bersambung....

0 komentar :

Posting Komentar

 
;